Pemilik Kebun – Kebun milik seorang kakek yang bernama Abdulloh itu, dipenuhi oleh tanaman dari berbagai jenis buah-buahan yang menghiasi ranting-ranting pohon. Sehingga, kebunnya menjadi seperti surga Alloh di muka bumi. Tidak salah bila penduduk Dharawan menamakan kebun itu dengan sebutan “surga”. Kakek yang saleh itu tidak lain adalah seorang mukmin yang mengetahui hak-hak Alloh pada harta, buah-buahan, dan tanamanya. Setiap masa panen tiba, ia selalu mengeluarkan hak Alloh berupa zakat dari buah kebunnya yang seperti surga. Tidak ada yang mengkhawatirkan atau mencemaskan kakek itu dalam hidupnya, selain sikap beberapa anaknya yang sering menghalanginya mengeluarkan zakat dan sedekah kepada orang-orang fakir. Namun, ia senantiasa berharap Alloh akan memberi hidayah kepada mereka.
Suatu ketika ketiga anaknya berkumpul saat ayah mereka sedang berada di luar rumah. Tanda-tanda kemarahan dan ketidaksetujuan tampak pada mereka terhadap semua yang dilakukan oleh ayah mereka setelah mengeluarkan zakat tanaman dan memberikannya kepada orang-orang fakir.
Anak sulung berkata, “Apa yang dilakukan oleh ayah kita? Apa ia mengeluarkan zakat?!”
Anak bungsu menjawab, “Betul, zakat tanaman, dan ia lupa bahwa kita bisa saja menjadi orang terkaya di Dharawan jika ia menjual semua hasil buah-buahannya tanpa memberikan sebagiannya kepada orang-orang yang miskin itu?”
Si sulung menimpali, “Apa Alloh memerintahkan untuk menyia-nyiakan harta dan memberikannya kepada setiap orang yang mengaku dirinya fakir?”
Si bungsu berkata, “Apa Alloh juga telah menyuruh ayah kita untuk melupakan kita dari hasil buah-buahan itu?”
“Tidak. Akan tetapi Alloh-lah yang menumbuhkan buah-buahan ini. Kita tidak melakukan apa pun, selain hanya meletakkan benih di tanah kemudian kita sirami dengan air. Adapun tanam-tanaman itu, Alloh-lah yang telah memerintahnya menjadi besar, tumbuh hingga menjadi sebuah pohon setelah sebelumnya hanya berupa benih, lalu pohon itu mengeluarkan buahnya juga atas perintah Alloh.” Anak kedua menjelaskan secara panjang lebar. Berdebatan terus berlanjut hingga akhirnya mereka bertiga berpisah. Anak yang tengah pergi mengikuti jejak ayahnya, sementara kedua saudaranya yang lain pergi menjauh dari ayahnya.
Saat seorang fakir datang ke kebun Abdullah untuk meminta sejumlah buah-buahan buat anaknya yang sedang sakit dan menangis tiada henti karena tidak ada yang dapat dimakan, Abdullah pun kemudian masuk ke dalam kebun untuk memetik buah dan memberikan sebagiannya. Setelah itu ia juga memberikan sejumlah uang kepadanya. Tiba-tiba si fakir berdoa dengan suara keras, “Semoga Alloh memberkahi harta dan kebunmu. Semoga Alloh juga memberkahimu, wahai kakek yang baik hati.” Abdullah kemudian menatap anak-anaknya dan berkata, “Karena doa seperti inilah Alloh memberikan keberkahan kepada kita, pada kebun dan buah-buahan kita, wahai anak-anakku.”
Abdullah berkata, “Anakku, sesungguhnya sedekah dapat memadamkan murka Alloh dan meninggikan derajat orang-orang mukmin di surga. Sesungguhnya, untuk satu biji buah yang disedekahkan, Alloh Ta’ala akan memberikan seratus kebaikan. Jika kita menyedekahkan tujuh biji buah, Alloh pun akan menjadikan pada tiap-tiap biji buah itu pahala seratus biji buah, yakni semuanya menjadi tujuh ratus biji buah. Sedangkan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa. Jadi, jumlah keseluruhan akan menjadi tujuh ribu kebaikan. Selanjutnya, Alloh akan menambah dan melipatgandakan pahala bagi siapa pun yang Dia kehendaki, sebab Alloh Maha Pemberi karunia yang agung.”
Waktu terus berjalan dan kini Abdullah sakit parah hingga ia berwasiat kepada anak-anaknya. Ia berkata, “Aku berpesan kepada kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang fakir dan tidak lupa zakat, hak Alloh yang ada pada kebun kita.” Demikianlah wasiat Abdullah di atas pembaringannya saat sakit keras. Sakitnya bertambah parah hingga akhirnya meninggal dunia. Rupanya Alloh menghendaki laki-laki saleh pemilik kebun itu wafat beberapa saat sebelum waktu panen tiba. Ketiga bersaudara itu pulang ke rumah masing-masing setelah memakamkan ayah mereka. Mereka sedih dan menangis karena kematiannya.
Musim panen kian dekat. Ketika pagi menyingsing, mereka pergi ke kebun untuk mempersiapkan segala sesuatu menyambut musim panen. Mereka menyambut musim panen dengan penuh kebahagiaan, karena hasil buah-buahan begitu melimpah. Ketiga bersaudara itu kembali ke rumah. Perdebatan pun mulai terjadi. Anak sulung berkata, “Atas alasan apa kita harus memberikan harta kita kepada orang-orang fakir.”
Anak yang tengah menjawab, “Ini adalah hak Alloh. Dia telah memerintahkan ini kepada kita. Ayahmu juga telah mewasiatkannya kepadamu sebelum meninggal dunia.”
Anak bungsu berkata, “Ayah kita bodoh. Dia memberikan buah-buahan dan hartanya kepada orang-orang fakir. Padahal, jika kita jual buah-buahan itu, kita tentu akan menjadi orang yang paling kaya dan kita pun dapat menyimpan harta yang banyak.”
Pemilik Kebun – Perdebatan terus terjadi hingga si sulung dan si bungsu memenangkannya. Si bungsu berkata, “Kita akan memanen pada malam hari dan kita akan memetik buah-buahan itu sebelum subuh, sebelum orang-orang fakir dan miskin itu masuk ke dalam kebun. Sehingga, saat orang-orang fakir itu datang pada pagi hari, mereka tidak lagi mendapatkan buah-buahan itu sebiji pun. Mereka kemudian kembali tanpa membawa buah-buahan dan kita dapat melakukan apa yang kita inginkan.”
Anak yang tengah berkata, “Saudaraku, bertakwalah kalian kepada Alloh. Mengapa kalian tidak bertasbih dan memanjatkan puji dan syukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang telah Dia karuniakan kepada kalian serta memohon ampun kepada-Nya?
Anak bungsu menjawab, “Kami akan memohon ampun, tapi setelah panen nanti.”
Kegelapan malam menyelimuti dunia. manusia tidak bisa melihat sebagian yang lain. Sementara itu, dari rumah Abdullah, tiga bersaudara pergi secara sembunyi-sembunyi di pagi buta karena takut didengar oleh salah seorang miskin. Padahal, ayah mereka selalu mengundang orang-orang fakir pada hari panen dan memberitahukan waktunya kepada mereka. Karena saudara yang tengah dikhawatirkan akan membongkar rahasia itu, maka kedua saudaranya pun memintanya bersumpah dengan nama Alloh bahwa hari itu tidak akan ada seorang miskin pun yang menemui mereka. Hal itu dilakukan oleh kedua orang itu karena mereka tahu bahwa saudaranya yang tengah pasti akan menepati sumpahnya dan menuruti perintah mereka. Dengan demikian, mereka yakin mampu untuk mencegah agar tidak mengeluarkan zakat.
Mereka berjalan dengan membawa impian masing-masing, hingga mereka sampai di kebun itu. Tiba-tiba mereka menemukan kegelapan yang sangat pekat. Mereka hampir tidak dapat melihat tangannya sendiri. Saudara sulung kemudian berseru, “Mengapa segelap ini? Aku tidak dapat melihat pintu kebun.”
Saudara bungsu menjawab, “Kita benar-benar tersesat. Kita tersesat jalan.”
Saudara tengah berkata, “Bahkan kita menjadi orang yang tidak mendapat hasil apa-apa. Alloh telah mengharamkan kita dari buah-buahan di kebun itu. Tidakkah sekarang kalian melihat lokasi kebun itu telah menjadi tanah yang gosong. Sekarang Alloh Ta’ala telah menghukum kita, sehingga kebun yang Ayah kalian telah bersusah payah di sana dan kalian tidak ingin mengeluarkan zakat darinya itu pun terbakar habis dan menjadi arang. Bukankah sudah aku katakan kepada kalian, mengapa kalian tidak bertasbih dan bersyukur kepada-Nya?”
“Maha suci tuhan kami. Sesungguhnya, kami adalah orang-orang yang zalim.” Mereka saling mencela diri mereka sendiri.
“Celaka kita! Sesungguhnya, kita orang-orang yang melampaui batas lagi zalim. Mudah-mudahan Alloh akan memberikan ganti kepada kita dengan kebuh yang lebih baik daripada kebun kita ini. Sesungguhnya, kita telah bertobat kepada Alloh dan sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Rabb kita.”
Mereka menyesal saat penyesalan tidak lagi berguna. Mereka mengakui dosa setelah datang hukuman. Andai saja mereka mengeluarkan zakat harta sebagaimana yang telah Alloh Ta’ala perintahkan kepada mereka! (Kisah Pemilik Kebun ini terdapat di dalam surat al Qolam)
Pemilik Kebun
Ikut Partisipasi Mendukung Program, Salurkan Donasi Anda di Sini!